MENYAPA SAUDARA, MERAJUT HARAPAN: CATATAN HARI KETIGA BERSAMA PENGUNGSI PALESTINA DI AIN SHAMS

Delegasi Lazismu menyalurkan bantuan dan menyapa pengungsi Palestina di Masjid Thoriq bin Ziyad Ain Shams

Pagi itu di Kairo, Rabu, 3 Desember 2025, udara terasa penuh semangat. Kami memulai hari dari “markas” kami yang berlokasi di Jalan Abdul Hakim Rafai No. 43, Mustafa Nahaas, Nasr City. Sebelum kendaraan melaju, ada pemandangan menggelitik yang selalu memancing senyum kami setiap kali keluar penginapan. Tepat di lantai bawah gedung tempat kami menginap, terdapat sebuah supermarket bernama BIM. Di kalangan kami, nama supermarket waralaba asal Turki ini sering diplesetkan dengan nada bercanda menjadi “Badan Intelijen Muhammadiyah”. Candaan ringan ala aktivis ini cukup ampuh mencairkan suasana dan mempererat keakraban sebelum kami menghadapi tugas kemanusiaan yang serius.

Baca juga : MENJEMPUT HARAPAN DI GERBANG TIMUR: CATATAN HARI KEDUA MENGAWAL BANTUAN KE GAZA

Tepat pukul 09.00, kami meluncur meninggalkan Nasr City menuju tujuan utama hari ini, yaitu Block 24, Helmeyat an Naam, di distrik Ain Shams. Perjalanan ini menempuh jarak sekitar 10 hingga 12 kilometer. Sepanjang perjalanan, pemandangan kota perlahan berubah. Kami meninggalkan Nasr City yang jalannya lebar dan tata kotanya relatif modern, menuju sisi lain Kairo yang lebih tua dan lebih “hidup”. Memasuki kawasan Ain Shams, atmosfer berubah drastis menjadi wilayah yang sangat padat penduduk. Gedung-gedung apartemen tinggi berdiri berhimpitan menciptakan lorong-lorong jalan yang ramai. Di balik kepadatan inilah, kawasan Helmeyat an Naam menjadi salah satu kantong konsentrasi pengungsi Palestina, tempat mereka mencoba menyambung hidup di tengah hiruk-pikuk kota.

Kendaraan kami akhirnya menepi di depan Masjid Thoriq bin Ziyad, sebuah bangunan yang memegang peranan vital di kawasan ini. Masjid ini berdiri bukan sekadar sebagai tempat sujud, melainkan menjadi “rumah kedua” dan pusat kohesi sosial (community center) bagi para pengungsi. Setibanya kami di halaman masjid, suasana sudah mulai ramai. Orang-orang berdatangan dengan wajah-wajah yang memancarkan campuran antara kelelahan dan harapan. Kami pun segera turun menuju aula serbaguna yang terletak di bagian basement masjid, tempat yang kerap menjadi saksi bisu pertemuan komunitas dan penyaluran bantuan bagi warga Gaza yang terpisah dari tanah airnya.

Di dalam ruangan yang penuh namun tertib itu, misi kemanusiaan ini berjalan layaknya sebuah orkestra peran yang saling melengkapi. Saat pimpinan delegasi bersiap untuk berdialog di depan, rekan-rekan tim lain bergerak taktis di sisi ruangan. Mbak Upik, Mas Athif, Mas Kukus, dan Mas Arby berbagi tugas dengan sigap. Tanpa banyak bicara, mereka bahu-membahu merapikan tumpukan logistik, memastikan setiap paket siap diserahterimakan, sementara yang lain cekatan membidik lensa kamera untuk mendokumentasikan setiap senyum dan air mata sebagai saksi sejarah kepedulian ini.

lazismu menyapa hangat pengungsi palestina

Di meja depan, giliran tim Lazismu mendapatkan kesempatan berbicara. Duduklah Bang Barry Aditya dari Lazismu Pusat sebagai pimpinan delegasi, Agus Miswanto dari Lazismu Jawa Tengah, dan Syahrul dari Lazismu Sumatera Utara. Mereka tidak sendirian, karena Mas Abdul Rauf, Ketua PCIM Mesir, turut mendampingi sebagai penerjemah. Beliau menjadi jembatan lidah yang menyambungkan pesan hati masyarakat Indonesia agar dapat dipahami secara utuh oleh saudara-saudara Palestina di hadapan kami.

Momen emosional pecah saat Bang Barry mulai berbicara dengan mengucapkan salam dan menyapa warga yang hadir, yang kemudian diterjemahkan dengan lugas oleh Mas Abdul Rauf. Ia menegaskan bahwa Lazismu terus berkomitmen memberikan sokongan ke Palestina, apapun kondisinya. Bang Barry menceritakan bahwa meski Indonesia saat ini sedang diuji banjir di tiga daerah sekaligus—Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara—kami tetap hadir ke Mesir karena komitmen kemanusiaan dan persaudaraan ini tanpa batas. Sambutan itu ditutup dengan harapan dan doa, bahwa agar segala musibah, baik perang di Gaza maupun bencana alam di Indonesia, menjadi jalan penguat solidaritas kita sebagai satu tubuh.

Setelah rangkaian sambutan usai, momentum yang dinanti pun tiba. Berkat kerja keras tim logistik di belakang layar, pembagian amanah masyarakat Indonesia berjalan lancar. Alhamdulillah, pada pertemuan kali ini, sebanyak 150 paket bantuan beserta uang saku berhasil diserahkan langsung kepada para pengungsi Palestina yang hadir. Wajah-wajah lelah itu perlahan merekah menjadi senyum syukur saat menerima tanda cinta dari saudara jauh mereka di Indonesia.

Saat hiruk-pikuk pembagian bantuan berlangsung, saya beranjak keluar sejenak dari aula. Di sanalah langkah saya terhenti oleh sapaan seorang bapak paruh baya yang penampilannya bersahaja namun sorot matanya menyiratkan kedalaman ilmu. Beliau memperkenalkan diri sebagai Prof. Dr. Ziyad Hasan Abu Hin. Perbincangan kami menguak fakta yang menggetarkan hati; beliau ternyata adalah Guru Besar di Departemen Lingkungan dan Ilmu Kebumian (Environment & Earth Sciences) Universitas Islam Gaza. Sang pakar yang selama ini mendedikasikan hidupnya meneliti dan menjaga tanah serta air Gaza ini, kini harus hidup dalam pengungsian di Mesir selama dua tahun terakhir. Perang bahkan tetap mengejarnya lewat kabar duka, di mana anaknya syahid terbunuh dalam serangan Israel.

“Terima kasih banyak. Sampaikan terima kasih saya kepada masyarakat Indonesia yang membantu tanpa bosan dan tanpa henti untuk Palestina,” ucap Prof. Ziyad dengan suara bergetar. Mendengar penuturan beliau, dada saya terasa sesak. Dengan kemampuan bahasa Arab yang terbata-bata dan bercampur aduk dengan bahasa Inggris, saya berusaha menimpali kalimat beliau. “Nahnu ikhwah (Kita adalah saudara), Prof. Palestine is not alone,” ucap saya bersungguh-sungguh. Saya menyampaikan harapan agar kemerdekaan Palestina segera terwujud dan segala nestapa ini berakhir. Sebelum berpisah, saya menyelipkan doa tulus, “Mudah-mudahan Prof. Ziyad bisa berkunjung ke Indonesia suatu saat nanti,” yang disambut dengan senyum hangat dan aminan dari beliau.

Jika di dalam aula suasana penuh haru, halaman Masjid Thoriq bin Ziyad justru pecah oleh keriuhan yang berbeda. Banyak pengungsi membawa serta anak-anak mereka. Teman-teman dari PCIM Mesir yang menyertai kami langsung berbaur, tidak canggung mengajak anak-anak Palestina itu bermain dan berlarian. Melihat tawa anak-anak itu, kesibukan tim mendistribusikan bantuan, dan ketegaran sosok seperti Prof. Ziyad, kami menyadari satu hal di Ain Shams ini: Persaudaraan bukan hanya tentang memberi materi, tapi tentang kehadiran fisik dan jiwa untuk berdiri bersama mereka, memastikan bahwa mereka tidak pernah sendirian.

Ditulis oleh Agus Miswanto, MA
Aggota Delegasi Lazismu Join Action for Palestine 4, Dewan Pengawas Syariah Lazismu Jateng, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang (UNIMMA).