Pak AR dan Suksesi Pimpinan Persyarikatan

Oleh : Ikhwanushoffa (Manajer Area Lazismu Jawa Tengah)

Lazismujateng.org, Semarang – Berkaitan dengan terjadinya kecenderungan yang berubah dalam memilih pemimpin di Muhammadiyah, Pak AR berkeluh kesah kepada penggantinya, KH. Ahmad Azhar Basir. Dinamika Muhammadiyah pada Muktamar Yogyakarta tahun 1990 yang bernuansa politik sudah muncul. Ini menurut Pak AR, merupakan sesuatu yang baru di mana kader Muhammadiyah sudah berani memposisikan diri maupun memposisikan orang lain untuk menjadi pemimpin. Padahal pola seperti ini sebenarnya tidak diinginkan Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah Islam. “Pak AR pernah nguda rasa (menyampaikan dengan nada agak berkeluh) pada Bapak (KH. Ahmad Azhar Basir). Kok saiki (sekarang kok) seperti ini Muhammadiyah. Muncul tokoh yang memposisikan diri, saling dukung dalam Muktamar,” ujar Evi Sofia Inayati putri KH. Ahmad Azhar Basir menceritakan keluh kesah Pak AR kepada sahabat dan penggantinya Pak Azhar Basir.

Kepada Muchlas Abror, Pak AR juga mengungkapkan, di Persyarikatan Muhammadiyah mencalonkan diri sebagai Ketua PP Muhammadiyah bukan hal yang wajar. Tokoh-tokoh Muhammadiyah zaman dahulu biasanya menolak dicalonkan menjadi Ketua Pimpinan Pusat. Menurut Muchlas Abror, dalam sebuah pernyataannya pada tahun 1990, Pak AR mengatakan kader Muhammadiyah secara pribadi agar jangan mencalonkan diri menjadi Pimpinan Pusat. Namun jika dicalonkan oleh organisasi jangan pula menolak. “Pak AR pernah mengatakan kepada saya bahwa kader Muhammadiyah mencalonkan diri sebagai pimpinan pusat adalah bukan sewajarnya. Karena jabatan itu amanat, tanggung jawab. Itu bukan hal yang ringan pertanggungjawabannya baik di hadapan manusia maupun Tuhan,” ujar HM Muklas Abror.

Namun, kalaupun terpaksa berambisi menjadi pimpinan pusat, menurut Pak air tidak perlu melakukan kampanye. Tidak perlu membuat tim sukses atau melakukan gerakan untuk memilih dirinya. “Berjalan secara alami,” ujar Muklas Abror mengisahkan cerita Pak AR.

Menurut Muchlas Abror,  dengan cara memilih pemimpin seperti itu, Muktamar Muhammadiyah selalu mulus dan tidak pernah terjadi deadlock dalam pemilihan Pimpinan Pusat. Kalau toh terjadi deadlock, itu karena tidak ada kader yang bersedia dicalonkan sebagai Pimpinan Pusat, dan bukan karena gesekan perbedaan atau pertentangan. “Pada Muktamar Muhammadiyah tahun 1921 dan 1953 terjadi deadlock karena semua kadar menolak dicalonkan menjadi pimpinan,” ujar Muchlas Abror.

Penjelasan Pak AR tersebut termuat dalam buku Pak AR Santri Desa Yang Memimpin Muhammadiyah sebuah buku revisi dari buku sebelumnya dengan judul Pak AR Sufi Yang Memimpin Muhammadiyah yang ditulis oleh Muhammad Faried Cahyono dan Abu Tsuban Habibullah untuk menyambut Satu Abad Muhammadiyah.

Menjelang Muktamar ada fenomena yang hingga tahun ’80-an belum ada, yakni seseorang yang ingin masuk formaturiat membentuk Timses yang kemudian bergerilya, tidak cuma ke kamar-kamar atau resto waktu Muktamar, bahkan berbulan menjelang Muktamar telah keliling berbagai propinsi demi mendulang suara. Sebegitunya niat menjadi Pleno Pimpinan.

Tim ini mempunyai pengaruh besar di Pusat ketika calonnya masuk jadi. Ada semacam patron-clien yang terbangun. Pimpinan merasa hutang budi pada tim, tim pun merasa punya piutang andil pada calonnya. Biasanya Tim akan masuk di majelis lembaga atau amal usaha strategis. Dan karena mereka yang dari Tim menjadi all the leader’s man, sikapnya dirasakan menjadi arogan. Beberapa Ketua Majelis/Lembaga susah mengkondisikan “orang-orang sekitar pimpinan ini”. Bahkan amal usaha strategis bisa tidak diketahui milik siapa padahal sangat jelas identitas persyarikatannya.

Ini beda sekali dengan nawaitu anak-anak muda yang atas inisiatif mereka sendiri ingin mengegoalkan calonnya tanpa ada suruhan atau perikatan dengan sang calon pleno pimpinan. Biasanya anak-anak muda ini merasa gelisah ketika Pimpinan serasa makin milik pribadi atau dikapling-kapling yang ujungnya menjadi status quo. Mereka gelisah akan kekayaan amal usaha persyarikatan tetapi amat pelit dengan kaderisasi. Program sosial rendah, tapi mengembangkan saldo bisnis semangat.

Persyarikatan memang telah teruji dengan usianya yang berabad. Namun kiranya kepatutan musti mulai direvitalisasi. Tradisi “pilihlah saya” dengan membangun Timses kesana-kemari adalah tradisi yang tidak akhlak. Itu sama saja menganggap warga Muhammadiyah bodoh. Dianggap tidak paham siapa calon-calon pemimpin mereka.

Tidak jarang muncul kejadian-kejadian ironis. Seperti akhirnya diketahui salah satu Timses mendeskriditkan calon lain supaya tidak jadi. Jadi sudah mengarah tidak cuma pilihlah calon saya, tetapi tensinya meningkat ke like and dislike yakni jangan pilih calon yang saya tidak sukai. Tentu dengan bumbu menjelek-jelekkan hingga ke fitnah. Hal tersebut menjadi menggelikan ketika para pemilih akhirnya malah bercerita pada yang dideskriditkan. Kemudian makin menjadi tidak nyaman ketika calonnya dan calon yang ia deskriditkan sama-sama jadi pleno pimpinan.

Nilai-nilai Pak AR semoga menjadi ibroh bagi kita generasi milenial ini. Nilai-nilai kepemimpinan sejak dari Kyai Dahlan hingga Pak AR yang terlalu mahal bila hanya digadai dengan birahi kekuasaan. Bahkan tega menambahi anti pada sesama kader Persyarikatan yang dicalonkan. Dan fenomena ini sudah bukan lagi monopoli Muktamar, namun telah merembes hingga Musywil bahkan Musyda.

Wallaahu a’lam.

Singosari, 4 Ramadhan 1444 H

Ikhwanushoffa